Dampak dari Kinerja Dewan Pers yang Salah Arah Menjadikan Maraknya Persekusi terhadap Jurnalis
Oleh: Wilson Lalengke
TEROPONGNUSA.COM, JAKARTA - Berbagai peristiwa miris, menyedihkan, bahkan mengerikan yang menimpa para jurnalis di berbagai tempat di Indonesia merupakan dampak dari lemah dan mandulnya kinerja Dewan Pers selama ini.
TEROPONGNUSA.COM, JAKARTA - Berbagai peristiwa miris, menyedihkan, bahkan mengerikan yang menimpa para jurnalis di berbagai tempat di Indonesia merupakan dampak dari lemah dan mandulnya kinerja Dewan Pers selama ini.
Kejadian penyerangan kantor redaksi Radar Pos
di Depok beberapa hari lalu oleh segerombolan orang yang menamakan dirinya
sebagai para kader partai politik tertentu, menjadi salah satu contoh kasus
penyerangan terhadap wartawan yang dapat dikategorikan sebagai persekusi
terhadap jurnalis.
Kemarin,
Kamis, 31 Mei 2018, Suwondo, wartawan media buser24.com dikeroyok sejumlah
orang yang diduga menjadi "herder" oknum pimpinan desa, di Desa
Buniasih, Kecamatan Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, saat sang
wartawan menginvestigasi dugaan penyalahgunaan anggaran desa tersebut.
Tiga hari
sebelumnya, 28 Mei 2018, Muhammad Irwan, wartawan media Bhayangkara, nyaris
patah lehernya dianiaya oknum polisi saat meliput dugaan kasus peredaran BBM
ilegal di Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Berselang satu bulan sebelumnya lagi,
seorang Jonathan, kontributor media daerah di Jakarta, meringkuk dipersekusi
sejumlah oknum Dispenal di sebuah bungker di Mabes Cilangkap, saat meliput
acara pembagian goodybag di Mabes TNI-AL.
Ratusan,
bahkan mencapai ribuan, kasus serupa berseliweran di sekitar kita. Tiada henti,
tiada kenal waktu dan tempat.
Kasus
pelaporan jurnalis ke polisi, baik oleh warga masyarakat biasa hingga oleh para
pejabat dan aparat hampir tiap hari terjadi. Kasus teranyar misalnya, tiga
jurnalis dilaporkan ke polisi oleh oknum gubernur Sumatera Barat berinisial IP,
akibat yang bersangkutan tidak terima diberitakan soal dugaan KKN-nya. Selang
tiga bulan terakhir, tidak kurang dari 5 kasus pelaporan jurnalis ke polisi di
Sumatera Barat yang sempat heboh di publik. Bahkan kasus Ismail Novendra,
jurnalis Jejak News, yang melibatkan oknum Kapolda Sumbar, sedang bergulir di
pengadilan di Padang saat ini.
Sungguh
banyak sudah, jurnalis dianiaya, dipersekusi, bahkan terbunuh, dikriminalisasi
di mana-mana. Tugas jurnalistik penuh resiko. Jika bukan ke rumah sakit, yaa...
mereka diseret ke kantor polisi, atau yang terparah ke kuburan.
Belum lagi
terhitung mereka yang dikategorikan sebagai jurnalis warga, atau di tingkat
dunia dikenal sebagai citizen reporter, yang juga selalu jadi bulan-bulanan para
oknum yang tidak terima diberitakan oleh para pewarta warga. Dus, para wartawan
yang tersandung masalah karena jebak-menjebak bernuansa "duit" dengan
oknum aparat atau pejabat yang menjadi obyek investigasi, yang dijadikan mangsa
para pengganggu kerja-kerja jurnalisme. Data ini akan menambah panjang lagi
jumlah kasus penyerangan dan/atau penganiayaan terhadap para penggiat
jurnalisme yang terekam di memori publik selama ini.
Pertanyaan
yang harus diwacanakan adalah mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah regulasi
yang menjamin eksistensi kemerdekaan pers di tengah masyarakat Indonesia yang
menganut sistem demokrasi ini kurang mampu membentengi para pekerja media massa
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai "pengumpul, penyimpan,
pengolah, dan penyebar informasi melalui media yang mereka kelola"? Apakah
yang salah dari lembaga-lembaga pengampu kehidupan sosial, berbangsa,
bermasyarakat, dan bernegara kita sehingga kondisi pers di tanah air belum
banyak berubah dari orde sebelum reformasi?
Apapun
pertanyaan yang muncul, keberadaan sebuah institusi negara yang berkantor di
gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih No. 32-34 Menteng, Jakarta Pusat, akan
menjadi muara pembahasannya. Mengapa? Karena Dewan Pers, yang dibentuk
berdasarkan UU No. 40 tahun 1999, merupakan sebuah lembaga negara yang diberi
tugas dan fungsi menjadi semacam "lembaga pelindung dan pembina" pers
Indonesia. Selama lembaga ini tidak mampu memfungsikan diri sebagai pelindung
dan/atau pembina yang baik dan benar terhadap binaannya, maka sangat wajar jika
banyak anak binaannya yang dibinasakan di lapangan.
Dalam
sistem manajemen sebuah lembaga yang baik, keputusan-keputusan pimpinan
tertinggi di lembaga itu diambil tidak lain untuk menjaga agar tetap terjadi
peningkatan dan perkembangan kinerja organisasi lembaga tersebut beserta
stakeholder-nya. Jika terjadi sebaliknya, maka keputusan itu dianggap invalid
atau cacat dan harus dihapuskan. Perlu dirancang dan dibuat keputusan baru yang
lebih mengakomodir pencapaian tujuan organisasi.
Terkait
dengan kinerja manajemen di tubuh lembaga Dewan Pers, seharusnya institusi ini
tidaklah sulit menentukan langkah-langkah yang perlu diambil dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya. Visi besar yang wajib diwujudkan Dewan Pers sudah
amat jelas tertulis dalam pasal 28F UUD NRI, yang berbunyi: Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Visi ini
kemudian dipertegas dalam pasal 2 dan pasal 4 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999,
yang isinya: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (pasal 2);
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (pasal 4 ayat 1).
Berdasarkan
pedoman tersebut di atas, Dewan Pers semestinya dapat menetapkan misi lembaga
yang mengarah kepada pencapaian visinya itu. Salah satu misi Dewan Pers adalah
melindungi kemerdekaan pers demi terwujudnya kebebasan pers di Indonesia.
Segala daya upaya, termasuk miliaran rupiah uang rakyat yang dialokasikan
setiap tahun kepada lembaga ini harus ditujukan untuk melaksanakan tugas
melindungi kebebasan pers, membentenginya dari segala bentuk hantaman yang
mengancam kemerdekaan pers.
Untuk
memperlancar dan memperkokoh kemampuannya menjaga kemerdekaan pers, lembaga
tersebut diwajibkan melaksanakan program edukasi jurnalistik bagi semua
kalangan, baik pekerja media massa maupun masyarakat umum, termasuk semua
pejabat dan aparat negara. Sinergitas antar semua elemen bangsa dalam
menumbuhkan kehidupan pers yang bebas merdeka dalam bingkai keharmonisan dan
persatuan bangsa perlu diciptakan. Pencerdasan publik terkait pers dan media
massa harus menjadi program kerja utama Dewan Pers sebagai lembaga pembina pers
nasional.
Undang-Undang
Nomor 40 tahun 1999 sesungguhnya sudah cukup baik dan detil dalam menjelaskan
langkah-langkah kongkrit yang patut diambil dan dilaksanakan oleh lembaga
pengampu bidang jurnalisme seperti Dewan Pers itu. Pasal 15 ayat (2) dari UU
ini telah menuliskan dengan jelas tentang tugas pokok dan fungsi Dewan Pers.
Sekedar untuk mengingatkan para pengurus Dewan Pers saat ini, atau siapapun
yang nantinya menjalankan tugas di lembaga tersebut, berikut dikopi-pastekan
butir-butir tupoksi dewan pers yang selama ini terabaikan.
Dewan Pers
melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a.
melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b.
melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c.
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d.
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e.
mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f.
memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g. mendata
perusahaan pers. (UU No 40 tahun 1999, pasal 15 ayat 2).
Semoga
pengurus Dewan Pers menyadari bahwa lembaganya tidak diberi tugas menjadi
regulator pers Indonesia. Mereka harus sadar bahwa keputusan-keputusan yang
dikeluarkan selama ini merupakan penghianatan terhadap UUD NRI, pelanggaran
berat terhadap konstitusi. UU Pers yang menjadi landasan pembentukan Dewan Pers
dilanggar sendiri oleh lembaga tersebut. Dan lebih jauh, keputusan yang
dikeluarkan selama ini telah menjadi semacam dasar legitimasi yang menyuburkan
tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis. Dus, yang fatal, ketika
terjadi penyerangan, penganiayaan, persekusi, dan berbagai perlakuan buruk
terhadap jurnalis, Dewan Pers tidak melakukan tindakan pembelaan, perlindungan,
dan/atau pencegahan apapun.
Justru
sebaliknya, Dewan Pers telah menjadi bagian dari para pihak yang gemar
mengkriminalisasi jurnalis, memberi cap negatif terhadap jurnalis. Ketika
lembaga itu diam terhadap berjatuhannya para jurnalis akibat penganiayaan dan
penyerangan, sama artinya bahwa Dewan Pers bersekongkol dengan para penyerbu
tersebut.
Kemerdekaan
pers hanyalah utopia belaka di tangan pengurus Dewan Pers yang salah arah. (*)
_(Penulis
adalah Ketua Umum PPWI, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012)_