Sidang Ke-4 PMH terhadap Dewan Pers, Penggugat Mempertanyakan Kedudukan Sarundajang Rangkap Jabatan
TEROPONGNUSA.COM,
JAKARTA – Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dewar Pers oleh dua
organisasi jurnalis, PPWI dan SPRI, telah memasuki persidangan ke-4 pada Kamis,
7 Juni 2018, di Pengadilan Negeri Jakata Pusat. Sidang yang berlangsung dari
pukul 11.15 Wib itu mengagendakan penyerahan dan verifikasi surat kuasa dari
pihak Dewan Pers kepada majelis hakim. Dewan Pers pada kesempatan ini diwakili
kuasa hukumnya, Frans dan Dyah, telah membawa dan menyerahkan sejumlah berkas,
di antaranya Surat Kuasa yang ditanda-tangani oleh seluruh anggota Dewan Pers.
Saat melakukan
review atas setiap dokumen yang diperlihatkan dan diserahkan kepada majelis
hakim, terdengar komentar singkat yang cukup menggelikan dari Ketua Majelis
Hakim, Abdul Kohar, S.H, M.H. Pasalnya, semua tanda tangan para anggota Dewan
Pers di surat kuasa tersebut seluruhnya bermaterai Rp. 6.000,- “Kaya sekali ya,
semua ditandatangani di atas materai enam ribu,” seloroh Hakim Ketua Abdul
Kohar.
Dari fakta
persidangan hari ini, Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) mengeluarkan
Pernyataan Pers SPRI yang pada intinya memberikan apresiasi atas perkembangan
dan kesediaan pihak tergugat Dewan Pers untuk memenuhi permintaan keabsahan
kuasa hukum yang mewakili lembaga tersebut. “Kami menghargai upaya Dewan Pers membuktikan
legal standingnya kepada Majelis Hakim dengan ditanda-tanganinya surat kuasa
oleh seluruh anggota Dewan Pers kepada Frans dan Dyah selaku Kuasa Hukum,”
ungkap Heintje Mandagi, Ketua Umum SPRI.
Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson
Lalengke, melalui Sekretaris Jenderal PPWI, Fachrul Razi. “Kita menyampaikan
penghargaan kepada pihak Dewan Pers yang telah memperbaiki diri dengan
mengikuti aturan yang semestinya, menyampaikan Surat Kuasa yang ditandatangani
langsung oleh sembilan anggota Dewan Pers,” ujarnya.
Dari penyerahan
kelengkapan surat kuasa oleh kuasa hukum Dewan Pers di persidangan kali ini,
terkuak satu kejanggalan lagi tentang internal pengurus Dewan Pers. Pasalnya,
dari sembilan orang anggota Dewan Pers yang ikut bertanda-tangan di surat kuasa
tersebut terdapat nama Sinyo Harry Sarundajang sebagai salah satu anggota Dewan
Pers.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa Sinyo Harry Sarundajang, yang mantan Gubernur Sulawesi Utara ini
sejak 20 Februari telah bertugas sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik
Indonesia untuk Republik Philipina merangkap Kepulauan Marshall dan Republik
Palau. Hal ini menggelitik para penasehat hukum penggugat, yang terdiri atas
Dolfie Rompas, S.H, M.H, Beatrix Nidya Pontolaeng, S.H, Hanoch A.P. Pangemanan,
S.H, Asterina Julifenti Tiarma, S.H, dan Tondi Madingin A.N. Situmeang, S.H,
Mereka mempertanyakan keanehan tersebut.
“Pak Sarundajang
sudah sejak beberapa bulan lalu menjadi Duta Besar di Philipina, apakah Beliau
masih bisa menandatangani surat kuasa dari Dewan Pers?” tanya Rompas mewakili
team penasehat hukum penggugat.
Dalam pernyataan
persnya, SPRI kemudian mempertanyakan juga hal tersebut. “Ada yang menarik
perhatian kami sebagai penggugat, pada sidang kali ini, bahwa salah satu
anggota Dewan Pers Sinyo Sarundajang, yang kini menjabat sebagai Duta Besar dan
Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Philipina merangkap Kepulauan
Marshall dan Republik Palau ikut pula menanda-tangani surat kuasa tersebut. Selain
mengapresiasi sikap Dewan Pers yang memenuhi legal standingnya, kami juga
mempertanyakan kedudukan Sarundajang sebagai pejabat negara yang merangkap
jabatan sebagai anggota Dewan Pers,” jelas Mandagi penuh tanda tanya.
Terlepas dari
gugatan kami, lanjut pria yang berasal dari satu daerah dengan Sinyo Harry
Sarundajang itu, bahwa secara etika dan profesionalisme, bagaimana mungkin yang
bersangkutan (red - Sarundajang) belum melepas jabatannya selaku anggota Dewan
Pers padahal sudah bertugas di luar negeri. “Ini berarti Dewan Pers sudah tidak
independen lagi karena ada oknum di dalamnya kini menduduki jabatan dalam
pemerintahan sebagai Duta Besar. Seharusnya sebelum dilantik sebagai Duta Besar
telah resmi mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Pers,” pungkas Mandagi.
Sementara itu,
Wilson Lalengke mengomentari “keunikan” Dewan Pers terkait keberadaan oknum
pejabat pemerintah di tubuh lembaga yang oleh ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU
No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wajib bersifat independen. “Pantas saja Dewan
Pers jadi semacam pembunuh wartawan dimana-mana, pengurusnya terindikasi
berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu,” ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas
RI tahun 2012 itu.
Kenyataan itu,
lanjut Wilson, telah menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan bahwa Dewan
Pers melanggar UU No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 15 ayat (1) dan ayat (3).
Sekedar mengingatkan semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga legislatif,
yudikatif, dan masyarakat umum, tentang unsur-unsur yang diperkenankan oleh
Undang-Undang Pers untuk menjadi anggota Dewan Pers, berikut dikopi-pastekan
bunyi pasal 15 ayat (3) UU No. 40 tahun 1999, yakni: “Anggota Dewan Pers
terdiri dari : a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan
perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh
masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang
dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.”
Dari ketentuan
pasal 15 ayat (3) tersebut, sebut Wilson, tidak satupun poin yang menyatakan
bahwa pejabat pemerintah, termasuk duta besar, perwakilan pemerintah di dalam
maupun di luar negeri, menteri, dan mereka yang hidupnya dibiayai atau digaji
dari uang negara, boleh menjadi anggota Dewan Pers. “Jadi, sangat wajar jika
rekan saya dari SPRI mempertanyakan keberadaan Sarundajang yang menjabat Dubes
RI sejak 20 Februari 2018, namun hingga hari ini masih bercokol di Dewan Pers.
Kita perlu mengoreksi kebijakan pemerintah dalam mengelola pers dengan
menempatkan pejabat aktif pemerintahan di lembaga yang seharusnya independen
itu,” tegas lulusan Master of Science in Global Ethics dari Birmingham
University, Inggris itu.
Lebih jauh, Wilson
juga mempertanyakan pola kerja administratif Dewan Pers terkait surat kuasa
yang diberikan kepada majelis hakim pada persidangan Kamis, 7 Juni 2018 pagi
tadi. “Surat Kuasa penunjukan penasehat hukum Dewan Pers yang ditandatangani
oleh sembilan anggotanya, bertanggal 28 Mei 2018. Persidangan ke-3 lalu
tertanggal 31 Mei 2018, 4 hari setelah surat kuasa dimaksud tersedia. Mengapa
pada saat sidang ketiga itu mereka belum bisa menyerahkan surat kuasa yang
telah tersedia di tanggal 28 Mei itu? Saya boleh curiga dong, bahwa surat kuasa
itu hasil rekayasa, bahkan mungkin terjadi pemalsuan di sana,” tukas Wilson penuh
tanda tanya. (APL/Red)