Surat Terbuka Buat Presiden: Selamatkan Kemerdekaan Pers Indonesia
TEROPONGNUSA.COM,
JAKARTA - Dalam rangka untuk menyelamatkan Kemerdekaan Pers di
Indonesia dari tindakan kriminalisasi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat
Pers Republik Indonesia (SPRI) Hence Mandagi, melayangkan surat terbuka kepada
Presiden Republik Indonesia, H. Ir Joko Widodo. Senin, (2/7/2018).
Dalam surat tersebut,
Ketua Umum DPP SPRI mengharapkan perhatian dan dukungan Presiden dalam
menyelamatkan Kemerdekaan Pers Indonesia.
Berikut Isi Lengkap
Surat Terbuka dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia
kepada Presiden Republik Indonesia.
Surat Terbuka
Buat Presiden : Selamatkan Kemerdekaan pers Indonesia
Yang terhormat :
Presiden Republik
Indonesia
Bpk H. Ir Joko
Widodo.
Rancangan sembilan
program prioritas pembangunan atau Nawacita yang Bapak gulirkan sejak pertama
kali Bapak memimpin negeri ini sepertinya berjalan cukup dinamis. Keberhasilan
pembangunan infrastruktur di masa pemerintahan sekarang sungguh bisa
dirasakan langsung masyarakat di berbagai pelosok neggeri, bahkan hingga
ke wilayah Papua yang dulunya sulit terjangkau pembangunan. Kebijakan ekonomi
yang Bapak luncurkan pun berhasil merangsang pertumbuhan ekonomi nasional kian
stabil. Simpati publik atas kinerja pemerintahan saat ini menempatkan Bapak
pada posisi tertinggi poling calon presiden 2019 dibanding calon lain di hampir
seluruh lembaga survey nasional.
Namun sayangnya
sederet prestasi yang Bapak raih itu rasanya belum lengkap jika ada potensi
yang menguasai ruang publik justeru terabaikan.
Yang saya maksudkan
adalah ruang lingkup Pers Indonesia yang kelihatannya terluput dari perhatian
Bapak selaku orang nomor satu di republik ini.
Kriminalisasi pers
yang kian marak terjadi di era kepemimpinan Bapak, sejujurnya agak mengurangi
kekaguman saya terhadap performa kepemimpinan Bapak sebagai Kepala
Pemerintahan.
Baru-baru ini insan
pers tanah air dikejutkan dengan peristiwa tewasnya Wartawan Media Kemajuan
Rakyat Muhammad Yusuf saat berada dalam tahanan.
Almarhum M.Yusuf
dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara karena kerap memberitakan
kepentingan warga yang terzalimi. Polisi, Jaksa, dan Dewan Pers yang memeriksa
dan menangani kasus ini sepakat bahwa tulisan almarhum M Yusuf yang
dimuat di media Kemajuan Rakyat adalah perbuatan kriminal. UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers jelas-jelas tidak berlaku bagi almarhum M Yusuf.
Kriminalisasi
terhadap sebuah karya jurnalistik ternyata tidak hanya dialami almarhum M.Yusuf
sendirian melainkan juga dialami sejumlah wartawan di berbagai daerah. Dan itu
semua terjadi di era pemerintahan sekarang.
Baru-baru ini juga
wartawan media online Berita Rakyat Slamet Maulana ditangkap petugas Polres
Sidoarjo karena memberitakan soal wanita penghibur beroperasi di lokasi karaoke
keluarga.
Sementara di Padang Sumatera
Barat, Pemimpin Redaksi Media Jejak News Ismail Novendra diseret ke kursi
pesakitan karena menulis berita dugaan KKN pengusaha kontraktor kerabat dekat
Kapolda Sumbar.
Di Nusa Tenggara
Timur, Wartawan media online Fajar Timor Bony Lerek dijadikan tersangka karena
menulis berita tentang dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Timor Tengah
Utara, Raymundus Fernandez.
Belum lama ini pula
dua awak media online Sorot Daerah di Sumut dijemput paksa polisi. Keduanya
diamankan terkait tulisan yang mengkritisi 'kemesraan' Kapolda Sumut Irjen Pol
Paulus Waterpauw dengan seorang tersangka kasus penipuan. Kedua awak media
online sorotdaerah.com yang diamankan yaitu Jon Roi Tua Purba dan Lindung
Silaban. Keduanya dituduh telah melakukan penyebaran berita hoaks atau
penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap Kapolda Sumut Irjen Pol
Paulus Waterpauw.
Sementara itu, di
Riau, Pimred Harian Berantas Toroziduhu Laia juga diseret ke meja hijau
PN Pekanbaru terkait kasus pelanggaran UU ITE yang dituduhkan Bupati Kabupaten
Bengkalis dan Polda Riau akibat berita kasus korupsi dana Hibah/Bansos untuk
Kabupaten Bengkalis.
Dan masih banyak lagi
wartawan di berbagai daerah dikriminalisasi akibat pemberitaan.
Sangat disayangkan
Dewan Pers yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers justeru menjadi
bagian terpenting dalam upaya mengkriminalisasi pers Indonesia.
Penerapan Peraturan
Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan
yang mewajibkan wartawan mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan atau UKW kian
mengancam eksistensi pers di Indonesia.
Wartawan yang belum
atau tidak mengikuti UKW akan dianggap illegal oleh Dewan Pers dalam
menjalankan tugas jurnalistiknya. Terbukti dalam berbagai kasus aduan sengketa
pers, Dewan Pers tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi dengan pertimbangan
bahwa wartawan yang menjadi teradu belum mengikuti UKW sehingga perkara yang
diadukan dapat diteruskan ke pihak kepolisian dengan pasal pidana umum.
Padahal pelaksanaan
UKW oleh Dewan Pers ini adalah bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenaga-kerjaan karena yang berwenang melaksanakan Uji Kompetensi
adalah Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi atau BNSP dan bukannya oleh Dewan Pers. Jadi seluruh LSP
yang ditunjuk oleh Dewan Pers tidak memiliki dasar hukum untuk diterapkan bagi
wartawan dalam mendapatkan sertifikat kompetensi.
Persoalan lain yang
menghantui pers adalah ratusan ribu wartawan dan pekerja pers terancam
kehilangan pekerjaan alias menganggur akibat ulah Dewan Pers yang ngotot
menerapkan aturan kewajiban Verifikasi terhadap media massa meskipun
bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Betapa tidak, sekitar
43 ribu media cetak dan elektronik (versi Dewan Pers) yang belum terverifikasi
terancam 'dibredel' masal oleh Dewan Pers.
Di tengah upaya keras
pemerintah merangsang pelaku usaha menciptakan lapangan pekerjaan baru, Dewan
Pers justeru sibuk mengeliminir eksistensi dan legitimasi perusahaan pers yang
dianggap belum diverifikasi. Ke 43 ribu media yang belum terverifikasi
tersebut, selain kehilangan legitimasi juga terancam dikriminalisasi oleh Dewan
Pers.
Fakta ini jelas
menegaskan bahwa Undang-Undang Pers seolah-olah tidak berlaku bagi sekitar 43
ribu media yang belum terverifikasi Dewan Pers. Kondisi ini tak ubahnya dengan
pembredelan masal model baru versi Dewan Pers.
Padahal, sesungguhnya
kebijakan verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers telah melanggar dan
menyimpang dari aturannya sendiri yakni Peraturan Dewan Pers Nomor
4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Pada poin ke 17
peraturan tersebut, berbunyi "Perusahaan Pers media cetak diverifikasi
oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran
diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Sangat jelas dan terang benderang
bahwa aturan Dewan Pers tersebut menyebutkan tugas verifikasi adalah kewenangan
Organisasi Pers dalam hal ini Organisasi Perusahaan Pers, tapi pada kenyataannya
Dewan Pers secara sepihak mengambil alih peran tersebut.
Dalam kondisi pers
nasional sudah seperti ini negara kelihatannya belum mau hadir melihat
keberadaan pers Indonesia yang makin terpuruk.
Saya masih tetap
optimis bahwa Bapak selaku Presiden Republik Indonesia tidak akan tinggal diam
menyikapi permasalahan pers di Indonesia. Untuk mengatasi kondisi ini kami
minta dengan tegas kepada Bapak Presiden untuk segera membekukan dan
membubarkan kepengurusan Dewan Pers periode ini dan menyerahkan
sepenuhnya kepada seluruh Organisasi Pers dan perusahaan pers untuk menentukan
kembali anggota baru Dewan Pers yang benar-benar profesional, dan bukan dari
kalangan mantan pejabat yang hanya ingin tetap eksis di pentas nasional.
Anggota Dewan Pers
harus lahir dari rahim insan pers dan seluruh organisasi pers dan perusahaan
pers yang diakui oleh negara, dan bukan hanya dari segelintir organisasi pers
saja. Jika Bapak Presiden mampu melakukan itu maka persoalan Pers Indonesia
akan segera teratasi. Pada gilirannya Dewan Pers akan kembali kepada marwahnya.
Akhir kata, stop kriminalisasi pers dan kembalikan kemerdekaan kami.
Hormat kami,
Hence Mandagi,
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia