DPD RI Evaluasi Dana Otsus Aceh dan Papua
TEROPONGNUSA.COM,
JAKARTA - Komite I DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan
mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Prof. Dr.
Djohermansyah Djohan dan peneliti senior LIPI, Prof. Dr. Siti Zuhro, di ruang
Komite I DPD RI, Rabu (12/9/2018). Rapat ini membahas tentang pengawasan Komite
I DPD RI terhadap UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, UU nomor
35 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua Barat dan UU nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Rapat dipimpin oleh
Pimpinan Komite I DPD RI H. Fachrul Razi, MIP dan Jacob Komigi. Dalam
pengantarnya, politisi asal Aceh ini memaparkan bahwa otonomi khusus
sesungguhnya memberikan kekhususan kepada daerah untuk menyelenggarakan daerah
yang bersifat khusus atau kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak–hak dasar masyarakat daerah. Karena itu,
lanjut Fachrul Razi, dalam otsus ini pemerintah pusat jangan setengah hati.
Fachrul Razi
memaparkan terdapat berbagai persoalan yang dihadapi di Aceh namun tidak
terlepas dari lemahnya Pemerintah Pusat dalam hal pengawasan, supervisi dan
pendampingan. “Pusat cenderung menyalahkan daerah, namun di daerah sekali
terjadi relasi kekuasaan sesama kementerian yang dianggap buruk,” tegas Fachrul
Razi.
Fachrul Razi
mengatakan bahwa terjadi pembiaran yang dilakukan oleh Pusat terhadap daerah
dalam pelaksanaan Otsus, dimana sesama kelembagaan di pusat masih tarik menarik
kepentingan sehingga daerah menjadi korban. “Sesama kelembagaan yang ada di
Pusat saling tarik menarik dan lepas tangan, ini menunjukkan pusat lemah dalam
menjalankan UU,” jelas Fachrul Razi.
Fachrul Razi
mengusulkan perlunya daerah menyapkan blue print dan rencana jangka panjang
terhadap Otsus Aceh. “Aceh tidak layak mendapatkan dana otsus 20 tahun, namun
pemerintah pusat seharusnya memberikan dana otsus selama nya untuk Aceh,” jelas
Fachrul Razi.
Sementara itu,
Prof. Dr. Djohermansyah Djohan memberikan 2 tips agar otonomi khusus tidak
gagal. Pertama, faktor formulasi kebijakan otonomi khusus. Dalam faktor ini
regulasi tentang otsus tidak mengakomodasi muatan lokal. Kedua, faktor
implementasi kebijakan UU Otsus, antara lain penyelenggara pemerintahan daerah
di wilayah otsus tidak kreatif, tidak inovatif, tidak kapabel dan tidak kompak.
Selain itu, pemerintah pusat juga menjadi sorotan, yaitu kurang serius, kurang
konsisten, kurang ihklas, kurang membimbing, kurang mengasistensi dan mediasi
serta kurang mengawasi.
Dalam konteks otsus
Papua dan Papua Barat, lanjut Djohermansyah, dana otsus Papua dan Papua Barat
yang akan berakhir pada 2021 sebaiknya diperpanjang dengan mempertimbangkan dua
hal. Pertama, dana otsus jangan lagi block grant seperti selama ini, sebaiknya
diubah menjadi specific grant sehingga bisa mempercepat target peningkatan
kesejahteran sosial di Papua dan Papua Barat. Tahun 2018 ini dana otsus Papua
sebesar 5,6 triliun dan Papua Barat 2,4 triliun. Kedua, melakukan revisi
terbatas UU Otsus Papua dan Papua Barat. “Di Papua dan Papua Barat aturannya
terlalu banyak”, tegas Dhojermansyah.
Untuk perbaikan
otonomi khusus Aceh, dengan jumlah dana otsus tahun 2018 ini sebesar RP 8
trliun, Djohermansyah memberikan masukan agar ada perbaikan tata kelola otsus
Aceh. Perbaikan tersebut mencakup dari hal yang paling dasar yaitu perlu
disusunnya blue print daerah otonomi khusus Aceh sampai tahun 2027; penerapan
e–planning, e–budgeting dan e–qanun sehingga menjamin transparansi;
keterlibatan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Keuangan; dan percepatan pembangunan diseluruh Aceh.
Prof. Dr. Siti
Zuhro dalam pemaparannya menyampaikan beberapa temuannya dalam penelitian yang
sudah dilakukan 2 tahun berturut–turut bekalangan ini. Menurutnya, pengawasan
pengelolaan anggaran otonomi khusus sangat bermasalah. Sejauh ini anggaran
otsus hanya dieksekusi begitu saja tanpa ada background filosofis dan
sosiologisnya sehingga korelasinya tidak positif, target pembangunan diwilayah
otsus tidak tercapai. “Ini ada yang salah pada politik pengelolaan anggaran
otsus. Nuansanya sangat politis di Papua, Papua Barat dan Aceh”, lanjut Siti.
Siti Zuhro
menambahkan, dari hasil penelitiannya juga mengungkap dua hal penting dalam
pelaksanaan otsus. Pertama, desentralisasi asimetri administratif. Hal ini
mencakup efektifitas pelayanan publik yang masih rendah, tidak jelasnya upaya
menekan angka kemiskinan, dan laporan keuangan yang belum baik. kedua,
desentralisasi asimetri politik, yang menyoroti kesatuan nasional yang harus
tercipta, mengikis ketidakadilan antar daerah diwilayah otsus, kejelasan
mengenai otoritas menjalankan budaya, dan mencegah tendensi separatisme. Oleh
karena itu, lanjut Siti Zuhro, LIPI meminta DPD RI untuk mendorong terciptanya
keindonesiaan dan kedaerahan yang seimbang, cantik, indah dan elok.
Kedepannya, tegas
Siti, perlu ada penguatan kapasitas kelembagaan untuk menjamin dana otsus
transparan dan akuntabel, kemudian penguatan partisipasi masyarakat sipil,
kepemimpinan nasional yang kuat, simpati dan empati sehingga melahirkan program
konkret di pembinaan dan pengawasan. Karena itu, pinta Siti, Kementerian Dalam
Negeri perlu membentuk satuan tugas yang melibatkan unsur BPK dan BPKP.
“Konkretnya elite lokal di Papua, Papua Barat dan Aceh harus hand in hand
dengan Elite Politik Nasional untuk memastikan kewenangan yang jelas. Ini kan
lobby politik saja”, ujar Siti.
Siti juga meminta
Komite I DPD RI mendorong dan mengawal revitalisasi peran lembaga perwakilan
daerah di daerah otsus. Di DIY misalnya, DPRD Provinsi itu terlibat dalam
pengawasan. Di papua perlu ada peran MRP. Di aceh, DPRA sudah membentuk lembaga
khusus pengawasan dana otsus. Inspektorat juga perlu direposisi agar bisa
maksimal dalam pengawasan dana otsus.
Dalam sambutan penutupnya,
Fachrul Razi menyatakan pentingnya hasil RDPU ini untuk mendukung agenda Komite
I DPD RI selanjutnya, yaitu Rapat Kerja dengan Gubernur dan para pimpinan
lembaga perwakilan daerah di wilayah otsus serta kunjungan kerja ke wilayah
otsus di Papua, Papua Barat dan Aceh.
“Pada awal bulan
Oktober, kita akan mengundang Wali Nanggroe, Gubernur Aceh dan DPRA ke DPD RI
dalam rangka rapat kerja dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi di Aceh
agar kita bisa menyiapkan langkah strategis DPD RI dalam memperkuat Otsus di
Aceh. Untuk Papua juga kita lakukan yang sama kedepan,” tutup Fachrul Razi.