Peran Milenial Menjaga Toleransi
![]() |
Oleh Dr. Muryani, S.E., MEMD (Dosen FEB Unair) |
Semua Negara tak terkecuali Indonesia, tidak pernah surut menghadapi permasalahan yang sama yaitu radikalisme. Tidak terelakkan, paham ini telah memasuki beberapa perguruan tinggi sejak waktu yang lama. Perguruan tinggi sebagai pusat keilmuan diharapkan berdiri paling depan dalam mencegah berkembangnya gerakan tersebut, namun fakta bercerita berbeda.
Kaum radikal yang mencoba mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi khilafah tak berhenti mempengaruhi jamaah pada usia paruh baya ke atas, tetapi juga mentarget generasi milenial utamanya mahasiswa di semester awal.
Tidak bisa dipungkiri, paham-paham radikal mencoba merusak rajutan persatuan bangsa yang telah diperjuangkan sejak negara ini merdeka.
Negara Indonesia adalah hasil keringat perjuangan bersama para tokoh, dimana mereka berlatar belakang multikultur dan multi suku. Para pendiri bangsa menyingkirkan egoisme, politik identitas atau sektarianisme dan kepentingan golongan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan. Namun sayangnya banyak di antara kelompok berusaha menolak sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Kaum radikal berprasangka terhadap sesama warga negara yang berbeda latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. Gerakan yang bertujuan untuk mengubah ideologi pancasila ini sering kali dilakukan dengan aksi kekerasan dan pemaksaan paham terhadap kelompok lain dan masyarakat umum. Berbagai kerusuhan dan konflik di beberapa daerah di Indonesia sering kali dipicu oleh perbedaan pandangan dan paham keyakinan.
Kita lihat kerusuhan di aceh, Ambon, Tanjung Balai Sumut, Poso, Aceh, Sampit, Sampang dan Papua. Seringkali korban juga dialami masyarakat sipil yang tidak ikut berkonflik. Kehilangan nyawa dan harta tidak terelakkan jika konflik makin meluas. Kerap kali yang menjadi penyebabnya hanya kesalahpahaman dan berita hoaks yang disebarkan dengan tujuan memecah belah dan memunculkan situasi chaos. Walau tak bisa dipungkiri kadang kala konflik diperparah oleh adanya faktor kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kondisi ini berpotensi memposisikan masyarakat yang mudah diombang-ambingkan paham dan berita yang tidak bertanggungjawab.
Patut diwaspadai bahwa paham-paham radikal merasuk dan mengobarkan politik identitas yang memanfaatkan momen-momen tertentu. Kemajuan teknologi informasi dan media sosial semakin memuluskan tujuan dari kaum radikal.
Tidak sedikit ulama, kaum muda dipicu untuk saling curiga, saling klaim kebenaran, dan saling melontarkan ujaran kebencian terhadap kelompok yang dianggap berseberangan. Kaum milenial yang diharapkan menjadi penerus cita cita luhur bangsa menjadi penting untuk disadarkan akan daya rusak paham intoleran ini.
Peristiwa global harus bisa menjadi cermin bangsa ini. Di Timur Tengah, konflik karena politik identitas atau sektarianisme telah memicu perang saudara tak berkesudahan. Negara menjadi carut marut dan memakan korban secara memilukan. Keadaan anarki yang seperti inilah seringkali menjadi tujuan kaum radikal untuk mampu menguasai wilayah dan masyarakat sipil. Hal ini bisa terjadi bila politik identitas yang menjadi kendaraan paham radikal tidak dibendung secara tegas oleh pemerintah dan para elite politik.
Kontribusi untuk menyelesaikan permasalahan paham radikal tak bisa dilepaskan dari peran para pemuka agama, pemuka adat, dan para pemimpin pemerintahan, baik pusat maupun daerah, untuk terus menyerukan persatuan dan toleransi terhadap paham dan golongan lain.
Solusi yang bisa ditempuh dengan pendekatan budaya dan dialog antar umat beragama. Demikian juga sosialisasi di tingkat grass root hendaknya dilakukan tidak secara partial sporadic tapi secara sistematik masuk dalam kurikulum anak didik sejak dini.
Kaum milenial sebagai garda depan diharapkan memiliki kepekaan tinggi akan bahaya laten radikalisme yang setiap saat muncul dan mampu membakar konflik, khususnya di momen momen tahun politik dan penggalangan massa. Tolak segala bentuk paham yang menentang keberagaman dan toleransi. Bahasa pemersatu Bhinneka Tunggal Ika dan spirit kebersamaan harus menjadi slogan bersama guna mencegah dan mewaspadai bentuk bentuk baru radikalisme.